Kamis, 29 September 2016

Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Miftahul Huda Pesawahan Rawalo Banyumas





Pondok Pesantren Miftahul Huda Pesawahan dalam sejarahnya merupakan bagian dari matarantai dakwah dan penyebaran ajaran Islam diwilayah selatan pulau Jawa. Hal ini dapat dicermati dari alur penyebaran pertumbuhan pesantren-pesantren dari daerah  Mataram-Purworejo-Kebumen ke barat sampai Banyumas Selatan, Cilacap Tengah dan utara terus sampai daerah Timur Selatan Jawa Barat. Banyak tumbuh pesantren dengan alur silsilah yang bertemu pada berbagai titik bersinggungan pada riwayat penyebaran dakwah Islam di wilayah ini.
Dakwah pengajaran dan pendidikan Islam di Desa Pesawahan, sebuah desa berbentuk segi panjang, dikelilingi sawah dari segala penjuru arah, berjarak 2 kilometer dari kecamatan Rawalo, disinilah KH. Muhamad Ilyas  Kiai sekaligus kepala desa Pesawahan (pada saat itu) berbekal keyakinan dan ilmu agama yang sangat kuat yang diperoleh beliau dari mesantren seperti Bogangin, Kaliwedi, Palubon Magelang mulailah sosok Ilyas berkiprah kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah. Sampai pada akhirnya beliau dipercaya menjadi kepala desa Pesawahan dan ia jabat sampai beliau wafat.
Meskipun demikian, selain menjabat kepala desa sepanjang hidup beliau perhatiannya tercurah pada perjuangan kemasyarakatan, dakwah dan pendidikan. Suritauladan KH Ilyas Suharja dan dorongan nyata senantiasa diberikan khususnya kepada keluarga anak dan cucunya juga kepada masyarakat sepenuhnya tentang pentingnya kebersamaan, gotong royong, etos kerja, usaha ekonomi dan perdagangan. Keberadaan pemakaman desa Pesawahan adalah wujud nyata Monumental jasa beliau dan kepedulian belau saat itu atas kesulitan yang dihadapi masyarakat kaumnya akibat desanya tidak memiliki pemakaman.
Sikap beliau terhadap pesantren dan dakwah adalah suatu contoh nyata dan langka pada saat itu. Putra-putri beliau sejak dini sudah dikenalkan dan diwajibkan ngaji di pesantren, beliau mempunyai kebiasaan memberi bekal (biaya sangu, uang, beras, kitab) kepada siapa saja yang hendak menuntut ilmu dipesantren bahkan belakangan diketahui banyak tokoh dan kiai-kiai di banyumas dan Cilacap yang pernah mendapat bantuan kitab-kitab pada saat itu ketika sowan menghadap beliau, hal ini adalah demi rasa cintanya terhadap santri, kiai dan pondok pesantren.
Hubungan dengan kiai-kiai didaerahnya ia rajut penuh hangat dangan silaturahim bahkan pada akhirnya beliau besanan dengan tokoh besar kiai agung Syeh KH. Badawi Hanafi pengasuh pesantren Kesugihan (sekarang; al ihya/PPAI) untuk putra bungsu beliau Juweni (sekarang; KH. Zaeni Ilyas ) dinikahkan dengan putri syeh yang bernama Muttasyingah.
Tampaknya pasangan pengantin baru “Zaeni dan Mutasingah” dari Pesantren kesugihan ibaratnya adalah tanaman dua tokoh besar (Syeh KH. Badawi Hanafi dan KH. Ilyas Suhardja) untuk menggelar dakwah beliau berdua dan menancapkan bibit pesantren sebagai basis perjuangannya. Dengan ijin dan rahmat Allah kepulangan didampingi dan diikuti oleh beberapa teman-temannya dari pesantren menyertai tinggal di Pesawahan untuk melanjutkan belajar mengaji kepada KH. Zaeni Ilyas. Maka segeralah dirintis bersama teman-teman yang telah menjadi santrinya dengan dukungan dorongan dari KH. Ilyas Suharja mulailah dibangun sarana pondok pesantren. Momentum inilah selanjutnya kami peringati sebagai Millad Hauliyah berdirinya ponpes Miftahul Huda yang peringatannya dibarengkan dengan haul KH. Ilyas Suharja.
Di tengah-tengah masyarakat yang masih sangat kurang pengetahuan dan kesadaran keberagamannya, (masih abangan) sebagian masyarakat terbiasa dengan ke gemaran nanggap ebeg, lengger, tayub yang diramekan dengan judi. Adat ke jawen baik dalam hajatan, mengelola pertanian masih kental. Sementara sebagian masyarakat lain sifat keberagamaanya bercorak islam priyayi dengan sifat yang pragmatis, lemah sikap perjuanganya, apriori, apatis terhadap pesantren. Pengasuh pesantren tersebut mengajak anak-anak kampung putra dan putri untuk ngaji bersama santri mukim. Hingga ambat laun ada sekitar 35 anak kampung yang menyatu dengan para santri mukim yang baru sebanyak 15 santri. Sementara anak putri warga sekitar yang ikut ngaji di Pesantren jumlahnya lebih banyak yaitu mencapai 50-an, dibawah asuhan Ny.Hj.Muttasingah. Pada saat itu beliau sebagai perintis pengajian santri warga sekitar (santri kalong) dan dikembangkan dalam muslimat senin manisan, keliling muslimat se- kecamatan, kegiatan pengajian antar mushola se-kecamatan rawalo dan sesekali mengenalkan toriqoh. Hal ini membuktikan keberadaan tokoh-tokoh pesantren ini mempunyai andil yang cukup besar dalam sosialisasi dakwah dan pengembangan masyarakat, berupa pengembangan majlis ta’lim, organisasi sosial keagamaan seperti NU, fatayat, muslimat dan lembaga pendidikan yaitu dengan berdirinya TK Diponegoro yang mendapat perlawanan dari beberapa tokoh masyarakat desa sebagai imbas saingan idiologi (NU-PNI) atau islam santri priyayi, karena sebagian mereka beraliran PNI yang sedang gencar-gencarnya berkampanye. Tapi akhirnya TK tersebut dapat berdiri walaupun Ny. Hj. Muttasingah harus beberapa kali menghadap ke kabupaten.[1] Dan terus berkembang hingga tingkat perguruan tinggi. Adapun nama lembaga pendidikan formalnya yaitu:
a.       PAUD Roudlotus Sholihah
b.      TK Diponegoro 64
c.       MI Ma’arif NU Pesawahan
d.      MTs (SMP Berciri Khas Islam, Kurikulum Sisdiknas Terpadu Pesantren)
e.       MA Takhossus Miftahul Huda (SMA Berciri Khas Islam Berkurikulum Sisdiknas Terpadu Pesantren)
f.       SMK TEKOM MBM Rawalo (Tekhnik Komputer dan Jaringan)
g.      SMK Miftahul Huda
h.      Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) Miftahul Huda Rawalo.[2]


[1] Dokumentasi sejarah berdirinya PP. Miftahul Huda Pesawahan Rawalo. Dikutip dari profil PP miftahul huda tahun 2003. Dikutip tanggal 3 Januari 2016
[2] Wawancara dengan Ust. Mansyur Syaoqi, Lurah PP Miftahul Huda Putri pada tanggal 4 Maret 2016.