Pondok Pesantren
Miftahul Huda Pesawahan dalam sejarahnya merupakan bagian dari matarantai
dakwah dan penyebaran ajaran Islam diwilayah selatan pulau Jawa. Hal
ini dapat dicermati dari alur penyebaran pertumbuhan pesantren-pesantren dari
daerah Mataram-Purworejo-Kebumen ke
barat sampai Banyumas Selatan, Cilacap Tengah dan utara terus sampai daerah
Timur Selatan Jawa Barat. Banyak tumbuh pesantren dengan alur silsilah yang
bertemu pada berbagai titik bersinggungan pada riwayat penyebaran dakwah Islam
di wilayah ini.
Dakwah pengajaran dan pendidikan Islam di Desa
Pesawahan, sebuah desa berbentuk segi panjang, dikelilingi sawah dari segala
penjuru arah, berjarak 2 kilometer dari kecamatan Rawalo, disinilah KH. Muhamad
Ilyas Kiai sekaligus kepala desa
Pesawahan (pada saat itu) berbekal keyakinan dan ilmu agama yang sangat kuat
yang diperoleh beliau dari mesantren seperti Bogangin, Kaliwedi, Palubon
Magelang mulailah sosok Ilyas berkiprah kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah.
Sampai pada akhirnya beliau dipercaya menjadi kepala desa Pesawahan dan ia
jabat sampai beliau wafat.
Meskipun demikian, selain menjabat kepala desa
sepanjang hidup beliau perhatiannya tercurah pada perjuangan kemasyarakatan,
dakwah dan pendidikan. Suritauladan KH Ilyas Suharja dan dorongan nyata
senantiasa diberikan khususnya kepada keluarga anak dan cucunya juga kepada
masyarakat sepenuhnya tentang pentingnya kebersamaan, gotong royong, etos
kerja, usaha ekonomi dan perdagangan. Keberadaan pemakaman desa Pesawahan
adalah wujud nyata Monumental jasa beliau dan kepedulian belau saat itu atas
kesulitan yang dihadapi masyarakat kaumnya akibat desanya tidak memiliki
pemakaman.
Sikap beliau terhadap pesantren dan dakwah adalah
suatu contoh nyata dan langka pada saat itu. Putra-putri beliau sejak dini
sudah dikenalkan dan diwajibkan ngaji di pesantren, beliau mempunyai kebiasaan
memberi bekal (biaya sangu, uang, beras, kitab) kepada siapa saja yang hendak
menuntut ilmu dipesantren bahkan belakangan diketahui banyak tokoh dan
kiai-kiai di banyumas dan Cilacap yang pernah mendapat bantuan kitab-kitab pada
saat itu ketika sowan menghadap beliau, hal ini adalah demi rasa cintanya
terhadap santri, kiai dan pondok pesantren.
Hubungan dengan kiai-kiai didaerahnya ia rajut penuh
hangat dangan silaturahim bahkan pada akhirnya beliau besanan dengan tokoh
besar kiai agung Syeh KH. Badawi Hanafi pengasuh pesantren Kesugihan (sekarang;
al ihya/PPAI) untuk putra bungsu beliau Juweni (sekarang; KH. Zaeni Ilyas )
dinikahkan dengan putri syeh yang bernama Muttasyingah.
Tampaknya pasangan pengantin baru “Zaeni dan
Mutasingah” dari Pesantren kesugihan ibaratnya adalah tanaman dua tokoh besar
(Syeh KH. Badawi Hanafi dan KH. Ilyas Suhardja) untuk menggelar dakwah beliau
berdua dan menancapkan bibit pesantren sebagai basis perjuangannya. Dengan ijin
dan rahmat Allah kepulangan didampingi dan diikuti oleh beberapa teman-temannya
dari pesantren menyertai tinggal di Pesawahan untuk melanjutkan belajar mengaji
kepada KH. Zaeni Ilyas. Maka segeralah dirintis bersama teman-teman yang telah
menjadi santrinya dengan dukungan dorongan dari KH. Ilyas Suharja mulailah
dibangun sarana pondok pesantren. Momentum inilah selanjutnya kami peringati
sebagai Millad Hauliyah berdirinya ponpes Miftahul Huda yang peringatannya
dibarengkan dengan haul KH. Ilyas Suharja.
Di tengah-tengah masyarakat yang masih sangat kurang
pengetahuan dan kesadaran keberagamannya, (masih abangan) sebagian masyarakat
terbiasa dengan ke gemaran nanggap ebeg, lengger, tayub yang diramekan dengan
judi. Adat ke jawen baik dalam hajatan, mengelola pertanian masih kental.
Sementara sebagian masyarakat lain sifat keberagamaanya bercorak islam priyayi
dengan sifat yang pragmatis, lemah sikap perjuanganya, apriori, apatis terhadap
pesantren. Pengasuh pesantren tersebut mengajak anak-anak kampung putra dan
putri untuk ngaji bersama santri mukim. Hingga ambat laun ada sekitar 35 anak
kampung yang menyatu dengan para santri mukim yang baru sebanyak 15 santri.
Sementara anak putri warga sekitar yang ikut ngaji di Pesantren jumlahnya lebih
banyak yaitu mencapai 50-an, dibawah asuhan Ny.Hj.Muttasingah. Pada saat itu
beliau sebagai perintis pengajian santri warga sekitar (santri kalong) dan
dikembangkan dalam muslimat senin manisan, keliling muslimat se- kecamatan,
kegiatan pengajian antar mushola se-kecamatan rawalo dan sesekali mengenalkan
toriqoh. Hal ini membuktikan keberadaan tokoh-tokoh pesantren ini mempunyai
andil yang cukup besar dalam sosialisasi dakwah dan pengembangan masyarakat,
berupa pengembangan majlis ta’lim, organisasi sosial keagamaan seperti NU,
fatayat, muslimat dan lembaga pendidikan yaitu dengan berdirinya TK Diponegoro
yang mendapat perlawanan dari beberapa tokoh masyarakat desa sebagai imbas
saingan idiologi (NU-PNI) atau islam santri priyayi, karena sebagian mereka
beraliran PNI yang sedang gencar-gencarnya berkampanye. Tapi akhirnya TK
tersebut dapat berdiri walaupun Ny. Hj. Muttasingah harus beberapa kali
menghadap ke kabupaten.[1]
Dan terus berkembang hingga tingkat perguruan tinggi. Adapun nama lembaga
pendidikan formalnya yaitu:
a.
PAUD Roudlotus
Sholihah
b.
TK Diponegoro
64
c.
MI Ma’arif NU Pesawahan
d.
MTs (SMP
Berciri Khas Islam, Kurikulum Sisdiknas Terpadu Pesantren)
e.
MA Takhossus Miftahul Huda (SMA Berciri Khas Islam
Berkurikulum Sisdiknas Terpadu Pesantren)
f.
SMK TEKOM MBM
Rawalo (Tekhnik Komputer dan Jaringan)
g.
SMK Miftahul
Huda
h.
Sekolah Tinggi
Ilmu Al-Qur’an (STIQ) Miftahul Huda Rawalo.[2]
[1] Dokumentasi
sejarah berdirinya PP. Miftahul Huda Pesawahan Rawalo. Dikutip dari profil PP
miftahul huda tahun 2003. Dikutip tanggal 3 Januari 2016
[2] Wawancara
dengan Ust. Mansyur Syaoqi, Lurah PP Miftahul Huda Putri pada tanggal 4 Maret
2016.